Oleh: Velia Sarimanella
Belakangan ini, banyak dari kita mulai merasa lelah dan pesimis melihat keadaan negeri sendiri. Setiap hari, berita tentang korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, dan ketidakadilan hukum muncul tanpa henti. Dari pejabat daerah hingga pejabat tinggi negara, seolah-olah semua berlomba memanfaatkan jabatan untuk kepentingan pribadi. Di sisi lain, rakyat kecil terus berjuang keras, namun hasilnya sering tidak sebanding dengan keringat yang mereka keluarkan.
Ironisnya, semua ini terjadi di tengah kemajuan teknologi dan pembangunan yang begitu masif. Gedung pencakar langit semakin tinggi, jalan-jalan baru dibuka, tapi kehidupan masyarakat tetap terasa berat. Harga barang kebutuhan terus naik, lapangan kerja sulit, dan hukum sering kali tajam ke bawah tapi tumpul ke atas. Kita seperti hidup di negeri yang terus membangun tubuhnya, tapi lupa memperkuat jiwanya. Inilah yang saya sebut sebagai “Indonesia Dalam Bayang Kegelapan.” Bukan gelap karena tak ada cahaya, tapi karena hati manusia perlahan kehilangan empati, kejujuran, dan rasa keadilan.
Kegelapan pertama berasal dari rusaknya moral para pemimpin. Mereka yang seharusnya menjadi teladan justru banyak yang tersandung korupsi dan penyalahgunaan wewenang. Kekuasaan yang semestinya digunakan untuk melayani, berubah menjadi alat untuk memperkaya diri. Akibatnya, masyarakat kehilangan kepercayaan pada sistem dan merasa percuma berbuat jujur. Ini bukan hanya masalah politik, tapi masalah nurani. Sebab bangsa yang pemimpinnya kehilangan moral, akan sulit berdiri tegak di atas keadilan.
Namun, tidak semua kesalahan bisa ditimpakan pada pemimpin. Kegelapan ini juga tumbuh karena sikap apatis masyarakatnya sendiri. Banyak dari kita yang memilih diam ketika melihat ketidakadilan. Entah karena takut, malas peduli, atau berpikir, “buat apa ikut campur?” Sikap seperti ini membuat keadaan semakin gelap. Padahal, perubahan tidak akan pernah datang kalau rakyat berhenti bersuara. Ketika kita membiarkan kebohongan berjalan tanpa perlawanan, kita sebenarnya sedang ikut memelihara kegelapan itu sendiri.
Meski begitu, di tengah kegelapan yang menyesakkan ini, masih ada cahaya kecil yang menyala—cahaya dari generasi muda. Banyak anak muda hari ini yang berani bersuara, menggunakan media sosial, komunitas, dan ruang-ruang publik untuk menyuarakan kejujuran, solidaritas, dan perubahan. Suara mereka mungkin belum terlalu besar, tapi keberanian mereka membuktikan bahwa tidak semua anak bangsa menyerah pada keadaan. Dari ruang kelas, kampus, hingga lingkungan sekitar, muncul inisiatif kecil yang menyalakan harapan baru: bahwa masa depan Indonesia masih bisa diselamatkan.
Untuk keluar dari bayang kegelapan ini, kita semua harus mau berubah. Pemerintah perlu menegakkan hukum dengan adil dan transparan agar kepercayaan publik bisa pulih. Pendidikan moral dan kejujuran harus diperkuat, bukan hanya di sekolah, tapi juga di lembaga pemerintahan dan dunia kerja. Setiap institusi negara seharusnya menjadi contoh dalam hal tanggung jawab dan integritas.
Namun perubahan besar tak akan berarti jika masyarakat tetap diam. Kita, rakyat biasa, juga punya peran. Mulailah dari hal-hal kecil: jangan menyebar hoaks, jangan memberi atau menerima suap, bantu tetangga yang kesulitan, dan berani menegur hal yang salah dengan cara yang baik. Dari tindakan sederhana seperti inilah cahaya kejujuran bisa tumbuh dan menerangi lingkungan sekitar.
Pada akhirnya, kegelapan yang menyelimuti Indonesia tidak akan hilang jika kita hanya menunggu orang lain bertindak. Perubahan sejati selalu dimulai dari diri sendiri. Saat pemimpin berani jujur, rakyat mau peduli, dan generasi muda terus menyalakan semangat kebaikan, maka cahaya akan perlahan mengusir gelapnya negeri ini.
Indonesia masih punya harapan. Kegelapan boleh datang, tapi selama kita tidak berhenti menyalakan cahaya, bangsa ini tidak akan pernah benar-benar gelap.
(Penulis adalah Mahasiswa Psikologi Universitas Kristen Krida Wacana, Jakarta.)