oleh: Albert Zefania Wijaya
Raja Ampat di Papua Barat Daya adalah mahkota bumi, sebuah surga terakhir yang menyimpan keanekaragaman hayati laut tertinggi di planet ini. Gugusan pulaunya adalah rumah bagi lebih dari 500 spesies karang dan ribuan jenis ikan.
Ironisnya, keindahan fundamental ini kini terancam oleh rencana pembangunan tambang nikel di Pulau Kawe dan sekitarnya. Isu ini mencuat tajam pada 2024-2025 ketika pemerintah daerah memberikan izin kepada perusahaan, beralasan peningkatan pendapatan dan dukungan terhadap transisi energi hijau nasional.
Narasi ini memicu penolakan keras dari masyarakat adat dan aktivis lingkungan, yang khawatir tambang akan memusnahkan ekosistem laut dan hutan tropis yang menjadi sumber kehidupan.
Klaim bahwa tambang dapat dilakukan secara “ramah lingkungan” di kawasan seunik Raja Ampat adalah ilusi berbahaya yang perlu dihentikan.
Faktanya, Raja Ampat bukan sekadar destinasi wisata, melainkan kawasan konservasi yang sensitif, bahkan sebagian telah dinobatkan sebagai geopark dunia. Atas dasar pertimbangan lingkungan, sosial, dan kebijakan publik, saya menolak keras dan mendesak pembatalan seluruh rencana tambang nikel di wilayah ini.
Pertama, tambang nikel adalah ancaman ekologis permanen yang tidak terpulihkan. Proses penambangan dan eksplorasi akan memproduksi limbah beracun (seperti tailing dan logam berat) yang pasti akan mencemari perairan.
Mengingat ekosistem laut Raja Ampat adalah salah satu yang paling sensitif dan kaya di dunia, kerusakan akibat sedimentasi, pencemaran, dan deforestasi akan sulit, bahkan mustahil, untuk dipulihkan.
Pengalaman di wilayah nikel lain, seperti Sulawesi dan Halmahera, telah membuktikan betapa cepat dan masifnya kehancuran ekologis yang ditimbulkan oleh industri ini, menunjukkan bahwa klaim “tambang ramah lingkungan” adalah ilusi berbahaya.
Kedua, secara sosial, proyek ini mengancam eksistensi dan kedaulatan masyarakat adat. Warga yang telah hidup turun-temurun dari laut dan hutan akan kehilangan kedaulatan atas tanah ulayat serta akses fundamental terhadap sumber penghidupan mereka.
Proyek ini hampir pasti memicu konflik sosial yang dipicu perebutan lahan dan janji kompensasi yang tak jelas. Lebih dari itu, hadirnya logika ekonomi ekstraktif jangka pendek akan menggerus budaya lokal yang menjunjung tinggi harmoni dengan alam.
Bagi masyarakat adat Raja Ampat, laut adalah jantung identitas, spiritualitas, dan sumber peradaban mereka bukan sekadar komoditas.
Ketiga, dari aspek kebijakan, pemberian izin tambang di Raja Ampat menunjukkan inkonsistensi dan kemunafikan kebijakan negara. Pemerintah pusat gencar mengampanyekan ekonomi hijau dan pariwisata berkelanjutan, namun secara ironis justru merestui kegiatan ekstraktif di jantung kawasan konservasi.
Paradoks memalukan ini membuktikan bahwa kepentingan ekonomi jangka pendek masih lebih diutamakan daripada visi ekologis jangka panjang.
Padahal, nilai ekonomi dari ekowisata dan pariwisata alam Raja Ampat jauh lebih besar dan berkelanjutan dibandingkan keuntungan tambang yang bersifat merusak dan hanya bertahan beberapa dekade.
Sebagai solusi, Pemerintah wajib meninjau ulang dan mencabut seluruh izin tambang di kawasan konservasi dan mengembalikan fungsi ekologis kawasan sepenuhnya.
Masyarakat lokal harus dilibatkan dan menjadi penentu utama dalam setiap keputusan yang menyangkut tanah adat mereka.
Indonesia harus memperkuat sektor ekonomi hijau yang sejati, seperti ekowisata, penelitian laut, dan perikanan berkelanjutan, yang sejalan dengan pelestarian lingkungan. Transisi energi hijau global tidak boleh mengorbankan surga tropis terakhir di bumi.
Raja Ampat melampaui sekadar aset ekonomi, ia adalah simbol komitmen bangsa terhadap masa depan planet. Jika Indonesia serius mewujudkan visi pembangunan hijau, langkah pertama adalah berani berkata TIDAK pada proyek tambang yang mengancam keberlanjutan alam.
Kemajuan sejati ditunjukkan dengan menjaga Raja Ampat lestari, membuktikan harmoni abadi antara manusia dan alam.
Penulis adalah Mahasiswa Ukrida Jakarta, Prodi Psikologi Tugas Mata Kuliah Kewarganegeraaan