Pendidikan Kompensatoris: Saatnya Kita Mengakui Setiap Anak Berhak Belajar dengan Caranya

Bagikan Artikel

Oleh Mardi Panjaitan, Kepala SLB Negeri Pembina

Setiap anak itu unik. Ada yang mudah memahami pelajaran hanya dengan sekali dengar, ada pula yang butuh diulang berkali-kali, dengan gambar, isyarat, atau sentuhan. Perbedaan ini bukan kelemahan, melainkan realitas yang harus kita terima.

Sayangnya, sistem pendidikan kita masih sering mengukur semua anak dengan cara yang sama. Inilah mengapa pendidikan kompensatoris menjadi penting: ia hadir untuk menjembatani anak berkebutuhan khusus agar tetap bisa belajar dan berkembang sesuai potensinya.

Pendidikan kompensatoris bukanlah belas kasihan, melainkan hak. Anak tunanetra dengan braille, anak tunarungu dengan bahasa isyarat, atau anak dengan hambatan intelektual melalui pengulangan dan media sederhana—semua itu bukan sekadar metode, tapi pintu bagi mereka menuju masa depan.

Dengan pendekatan ini, kita tidak hanya memberi ilmu, tetapi juga martabat. Kita sedang mengatakan kepada mereka: “Kamu berhak belajar, kamu berhak tumbuh, kamu berhak bahagia.”

Manfaatnya jelas. Pendidikan kompensatoris membantu anak memahami pelajaran sesuai kondisinya, mengoptimalkan kemampuan, membentuk kemandirian, dan memberi kesempatan yang setara.

Namun semua itu tidak akan berarti tanpa kolaborasi. Guru harus kreatif dengan metode multisensori, orang tua mesti sabar mengulang pelajaran di rumah, dan masyarakat harus berhenti melihat keterbatasan sebagai batas. Yang dibutuhkan adalah dukungan, bukan stigma.

Bangsa ini sering berbicara tentang keadilan sosial. Tapi apa arti keadilan jika anak-anak berkebutuhan khusus masih dianggap “berbeda” dan dibiarkan berjalan sendiri?

Pendidikan kompensatoris mengajarkan kita sebuah kebenaran sederhana: keterbatasan bukanlah alasan untuk menyerah, melainkan panggilan untuk menemukan cara baru agar setiap anak bisa melangkah maju.

Saatnya kita berhenti bertanya “bisakah mereka belajar seperti anak lain?” dan mulai mengatakan “bagaimana cara kita membantu mereka belajar dengan caranya.”

Karena masa depan yang inklusif tidak dibangun dengan standar yang seragam, tetapi dengan pengakuan bahwa setiap anak, tanpa terkecuali, berhak mendapat kesempatan yang sama untuk tumbuh.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *