Oleh: Finley Eiwan Franklin Zaluchu
Tahun 2025 menjadi salah satu tahun bersejarah bagi industri animasi Indonesia. Salah satu animasi kebanggan Indonesia, Jumbo, berhasil mencapai 10 juta penonton hanya dalam waktu 1 bulan. Sebuah kebanggaan yang luar biasa bagi film animasi Indonesia di tengah lesunya dunia perfilman di Indonesia.
Jarang sekali ada film animasi Indonesia yang mampu seberhasil Jumbo, apalagi memakan banyak dana sebesar 40 Miliar Rupiah dan waktu selama 5 tahun untuk film animasi tersebut untuk selesai.
Belakangan, kita disuguhi dengan film yang katanya adalah film animasi yang disebut-sebut seharusnya layak dibanggakan. Judulnya Merah Putih: One For All. Ada apa dengan film ini sehingga alih-alih dipuji, malah mendapat cercaan?
Terdapat kontras yang sangat ekstrem jika kita membandingkan antara animasi Jumbo dengan animasi Merah Putih One Fore All ini. Mari kita membahas terlebih dahulu makna filmnya. Memang benar bahwa jika kita melihat latar belakang film ini dibuat dan alur ceritanya, makna film ini sangat nasionalis sekali.
Menceritakan bagaimana bendera merah putih yang hilang dan bagaimana petualangan para anak-anak desa mencari bendera merah putih tersebut. Sebuah makna yang nasionalis dan patriotis dimana kita memang harus berani membela negara kita, apalagi itu menyangkut bendera negara kita, merah putih.
Namun apa yang menjadi masalah dalam animasi ini? Pertama, dari trailernya saja kita sudah bisa melihat jauhnya perbedaan animasi Jumbo dengan animasi Merah Putih: One For All.
Animasi Merah Putih One For All justru menunjukkan sebuah kemunduran dibandingkan film Jumbo. Banyak kritik yang disampaikan oleh para netizen, penikmat film, bahkan para animator tentang buruknya kualitas film ini. Dari segi animasi, kualitas cerita, bahkan pengisian suara, semuanya menyampaikan respon yang kurang baik.
Kedua, dilansir dari kumparan, detikcom, dan Katadata, animasi Merah Putih One Fore All ternyata dipersiapkan dengan dana 6,7 Miliar Rupiah. Sebuah angka yang fantastis dimana seharusnya dengan dana sebesar itu dapat menghasilkan kualitas animasi yang baik, setidaknya mampu menghasilkan kualitas yang setara dengan standar film animasi lokal. Angka sebesar itu mampu mencakup biaya tenaga animator professional, proses rendering yang lebih halus, detail visual karakter dengan latar yang rapi, hingga manajemen produksi yang matang.
Namun, hasil akhir yang jauh dari nilai-nilai tersebut yang akhirnya membuat masyarakat kecewa dengan film ini, seakan-akan film ini mengejar target tayang dan terburu-buru.
Akhirnya, banyak pihak yang mempertanyakan digunakan untuk apa saja dana sebesar 6,7 Miliar Rupiah tersebut?
Ketiga, masalah pencurian asset animasi. Dilansir dari detikcom, ternyata banyak aset yang digunakan oleh para animator film tersebut ternyata mencuri dari animator asal Pakistan, Junaid Miran yang memang membuat beragam model karakter 3D untuk animasi dimana kita harus membayar untuk memakai modelnya secara komersial.
Bahkan animator asal Pakistan tersebut tidak tahu menahu soal penggunaan karakter yang dibuatnya itu, apalagi karakter-karakter tersebut menjadi karakter utama dalam film tersebut. Semua dokumentasi asset pribadi milik Junaid Miran dapat dilihat melalui kanal YouTube miliknya, @JunaidMiran, semua karakter yang ada di dalam film Merah Putih: One For All diambil dari karyanya.
Ini justru mengundang kontroversi, bukankah seharusnya para animator Merah Putih: One For All seharusnya membayar model karakter tersebut untuk dipakai dalam komersil? Bukankah mereka memiliki dana sebesar 6,7 Miliar Rupiah dan kemana alokasi dana tersebut? Bukankah merupakan hal yang tidak etis jika hanya menggunakan model 3D dari animator lain, dan bahkan menggunakan model gerakan kaku gratisan untuk karya animasi Indonesia yang sedang berkembang saat ini?
Bukan kita tidak bangga akan karya yang ada, tapi ini merupakan sebuah karya yang kurang layak dipertontonkan secara kualitasnya. Jika memang tidak siap, kenapa harus kejar tayang sampai akhirnya mempermalukan industri sendiri bahkan mempermalukan masyarakat Indonesia dengan kualitas animasi seperti itu?
Sebagai kesimpulan, memang secara niat film ini sudah baik ingin mengajarkan sifat nasionalis dan patriotis tapi secara kualitas ini justru mempermalukan industri animasi Indonesia yang sedang berkembang pesat, dimulai dari Jumbo. Jika memang niat untuk membuat animasi, lakukanlah dengan baik dan matang, dan jangan mempermalukan industri animasi Indonesia. Karena pada akhirnya bukan hanya masyarakat Indonesia yang akan melihat seberapa buruk animasi ini, tapi masyarakat mancanegara pun akan melihat betapa buruknya animasi ini.
Sebagai animator, apalagi dengan dana yang cukup besar, lakukanlah semuanya dengan baik dan matang. Apalagi dengan kasus dimana para animator film ini mencuri aset dari animator Pakistan, bukankah ini akhirnya mempermalukan negara Indonesia?
Penulis adalah mahasiswa Prodi Computer Science Universitas Bina Nusantara