Oleh: Harmada Sibuea*
DALAM SEPEKAN TERAKHIR, KITA menyaksikan demo besar-besaran di berbagai kota yang berujung ricuh. Delapan nyawa melayang, dan mungkin masih akan bertambah. Puluhan orang luka-luka, fasilitas publik rusak, bahkan penjarahan terjadi di beberapa tempat. Namun yang justru menyesakkan dada adalah heningnya pertanggung-jawaban moral dari para pemimpin negeri ini.
Pernyataan yang muncul sampai saat ini baru sebatas permintaan maaf yang terdengar kaku. Sekadar lip service tapi tanpa makna. Faktanya, tidak ada satu pun pejabat yang berani “pasang badan” mengambil tanggung-jawab. Tidak ada juga yang menyatakan mundur sebagai bentuk pertanggung-jawaban moral.
Bahkan anggota DPR yang memicu kemarahan publik akibat komentar atau pernyataannya yang nir-empati, cuma minta maaf. Mereka memang dinonaktifkan, tapi tidak mundur atas kesadaran sendiri.
Alih-alih refleksi, yang kita dengar justru narasi saling menyalahkan. Ada pihak yang disebut menunggangi, ada aktor luar negeri yang dituding ikut bermain. Fokus terhadap tuntutan masyarakat dialihkan dengan isu adanya tindakan-tindakan anarki bermuatan makar atau terorisme. Kedua hal ini memang penting untuk diantisipasi, tapi tidak menafikan kemarahan rakyat atas ketidakhadiran pemimpin sebagai pengayom yang mau mendengarkan dan berempati pada tuntutan masyarakat.
Padahal, inti dari kepemimpinan yang etis (ethical leadership) bukan sekadar soal jabatan atau kekuasaan. Atau sekedar minta maaf ketika ada kesalahan. Atau mencari kambing hitam pada saat ada kegagalan. Esensinya adalah keberanian untuk bertanggung jawab, bahkan ketika konsekuensinya berat secara pribadi.

Mengapa Pertanggung-jawaban Itu Penting?
Di banyak negara, mundurnya pejabat setelah tragedi besar bukanlah tanda kelemahan, melainkan bentuk penghormatan kepada rakyat. Itu adalah simbol bahwa jabatan bukan cuma hak, melainkan amanah. Jika amanah dilanggar, maka mundur adalah solusi terakhir.
Di Indonesia, tradisi ini nyaris tak pernah terlihat. Bagi mayoritas pemimpin, jabatan lebih berharga daripada kepercayaan publik yang sudah terkoyak.
Pertanggung-jawaban bukan hanya soal prosedur hukum atau pernyataan maaf, apalagi mencari kambing hitam. Ada yang lebih mendasar namun justru yang paling penting yakni tanggung jawab moral. Rakyat butuh melihat pemimpinnya hadir, berempati, dan menunjukkan integritas melalui tindakan nyata, bukan sekadar kata-kata maaf.
Delapan nyawa melayang, kericuhan di berbagai kota, serta publik dibawah bayang-bayang ketakutan terjadinya krisis sosial dan ekonomi, sudah sepatutnya ada yang menyatakan bertanggung jawab atau “memasang badan”.
Sayangnya, hingga hari ini semua memilih diam. Diam atau sekadar melempar pernyataan normatif justru memperdalam luka publik. Saat korban berjatuhan, publik ingin diyakinkan bahwa negara tidak abai, tapi hadir dan mengambil tanggungjawab.
Sayangnya, yang terlihat justru pemimpin yang menjaga citra diri masing-masing, menjaga jabatannya tetap kokoh. Bukan menjaga martabat bangsa dan kepercayaan publik.
Di titik inilah, kita patut bertanya: apa arti kepemimpinan bila cuma bisa diam atau menyalahkan pihak lain saat dihadapkan pada krisis kemanusiaan?
Pelajaran dari Krisis
Tragedi ini seharusnya menjadi cermin dan sekaligus refleksi bagi kita semua, apa arti kepemimpinan yang sesungguhnya. Kepemimpinan yang etis menuntut tiga hal:
Keberanian moral – berani mengakui kesalahan dan mengambil tanggungjawab, bahkan jika itu berarti kehilangan jabatan.
Empati tulus – merasakan penderitaan korban dan menyampaikannya lewat tindakan, bukan sekadar kata-kata maaf yang terkesan formalitas.
Integritas dalam krisis – menolak menyalahkan pihak lain sebelum menata rumah sendiri. Kita boleh saja membangun narasi tentang visi dan misi sebagai sebuah bangsa yang besar.
Namun ketika rakyat kehilangan nyawa di jalanan dan pemimpinnya tak berani mengambil tanggung jawab, semua visi itu runtuh. Tak hanya itu, kepercayaan terhadap pemimpin dan institusi juga akan semakin tergerus mencapai titik nadir.
Tragedi demo ini bukan lagi sekadar soal DPR perlu bubar atau tidak. Bukan juga hanya sekedar pembatalan tunjangan DPR. Kini lebih dari itu, ia adalah ujian kepemimpinan. Ujian tentang integritas dan keberanian moral mengambil tanggungjawab. Ujian tentang apakah para pemimpin kita sungguh-sungguh mengutamakan rakyat, atau hanya memikirkan kursi dan kekuasaan.
Rakyat tidak menuntut kesempurnaan. Yang mereka butuhkan hanyalah pemimpin yang hadir dengan hati, berani mengakui kesalahan, dan siap menanggung konsekuensi. Itulah inti dari ethical leadership—kepemimpinan yang berani pasang badan, bukan bersembunyi di balik diam.
Pulihkan kepercayaan publik dengan tindakan nyata, bukan janji-janji!
*Expert Kebijakan Publik & Transformasi Organisasi