Oleh: Fatah Baginda Gorby Siregar
Pemerhati Sosial-Politik
Kerusuhan 27 Juli 1996 atau yang dikenal dengan Kudatuli bukan sekadar konflik politik biasa. Peristiwa ini menjadi simbol perlawanan terhadap taktik kekuasaan yang manipulatif dan menekan demokrasi.
Dalam sejarah Yunani, “Kuda Troya” adalah strategi licik yang digunakan tentara Yunani untuk menaklukkan kota Troya. Mereka membangun patung kuda besar berongga dan menyembunyikan prajurit di dalamnya. Warga Troya, yang tertipu mengira itu persembahan suci, membawa kuda itu ke dalam kota. Malam harinya, pasukan Yunani keluar dari dalam kuda dan membuka gerbang kota, memulai kehancuran Troya.
Strategi seperti inilah yang digunakan penguasa Orde Baru kala menghadapi kebangkitan politik Megawati Soekarnoputri. Saat itu, Megawati yang terpilih sebagai Ketua Umum PDI pada Kongres Luar Biasa di Surabaya 1993, mulai mendapat dukungan luas. Pemerintah melihatnya sebagai ancaman, karena Megawati dianggap mampu membangkitkan semangat rakyat yang selama ini dibungkam.
Sebagai bentuk perlawanan, pemerintah mendukung kongres tandingan PDI versi Suryadi di Medan, Juni 1996. Kongres ini bahkan dibuka secara resmi oleh pejabat tinggi negara, sebagai upaya “meresmikan” Suryadi sebagai ketua umum baru dan menggeser Megawati dari panggung politik.
Namun, langkah ini memicu perlawanan besar. Kantor DPP PDI di Jalan Diponegoro Jakarta menjadi pusat aksi mimbar bebas yang digelar berbagai kalangan untuk mendukung Megawati dan mengecam keputusan pemerintah.
Puncaknya terjadi pada 27 Juli 1996. Pagi hari itu, bentrokan meletus antara massa pendukung Megawati dan kelompok yang mendukung Suryadi. Kekerasan pecah di sekitar kantor partai dan merembet ke berbagai sudut kota. Aksi ini berujung pada kerusuhan luas yang disertai pembakaran dan penjarahan.
Menurut catatan Komnas HAM, kerusuhan itu mengakibatkan lima orang tewas, 149 luka-luka, dan 23 orang hilang.
Kudatuli menjadi pengingat pahit tentang bagaimana kekuasaan bisa mengabaikan suara rakyat dan menggunakan segala cara untuk mempertahankan kendali. Tapi, peristiwa ini juga menjadi titik balik: rakyat menunjukkan bahwa mereka bisa melawan, bahwa demokrasi bisa tumbuh meski dari puing-puing kekerasan dan pengkhianatan.
Kudatuli bukan sekadar catatan sejarah. Ia adalah pelajaran penting bahwa demokrasi sejati hanya bisa hidup jika rakyat tak henti bersuara dan menolak tipu daya kekuasaan.