Oleh: Abyan Dzakyathoriq Tarigan
Ketika zaman semakin berkembang dengan teknologi dan digitalisasi, seharusnya hal ini menjadi angin segar bagi pelayanan publik. Saat semua serba cepat, istilahnya “sat-set-sat-set”, harapannya masyarakat juga bisa merasakan kemudahan saat mengurus dokumen atau mendapatkan layanan dari pemerintah. Namun, kenyataannya, pelayanan publik masih terasa lambat dan rumit. Masalah utamanya: birokrasi.
Bagi sebagian orang, istilah birokrasi mungkin terdengar rumit. Padahal sederhananya, birokrasi adalah sekumpulan aturan dan prosedur yang mengatur jalannya pelayanan publik. Contohnya mulai dari mengurus KTP, izin usaha, hingga klaim BPJS atau bantuan sosial. Prosesnya sering kali tidak singkat dan cenderung membingungkan.
Situasinya mirip seperti pengalaman buruk saat makan di rumah makan. Pelanggan tentu ingin dilayani dengan cepat, menu sesuai pesanan, dan suasana nyaman. Tapi bayangkan kalau harus menunggu lama hanya untuk mendapat menu, pelayan tidak tanggap, lalu makanan datang tidak sesuai pesanan. Kesal, bukan? Hal serupa dirasakan banyak warga saat mengurus dokumen, dari antrian yang panjang, alur yang tidak jelas, dan sering kali dioper dari satu meja ke meja lain hanya untuk mendengar kalimat, “Silakan ke bagian sebelah,” atau, “Datanya belum sinkron, coba minggu depan.”
Berdasarkan Laporan Ombudsman RI pada triwulan I tahun 2022, maladministrasi menjadi keluhan paling banyak dari masyarakat. Hampir 60 persen laporan terkait penundaan pelayanan, disusul keluhan karena tidak dilayani sama sekali, dan penyimpangan prosedur. Angka ini menunjukkan bahwa sistem birokrasi belum cukup baik melayani warga.
Ada beberapa penyebab kenapa masalah birokrasi ini terus berulang. Salah satunya adalah budaya kerja yang masih kaku dan hierarkis. Yaitu, situasi dimana banyak pegawai lebih sibuk menjaga citra di depan atasan daripada fokus pada kebutuhan masyarakat. Ide-ide baru pun sering terhambat karena takut melanggar kebiasaan lama.
Di sisi lain, tidak semua instansi pemerintah berada di level yang sama dalam hal digitalisasi. Ada yang sudah serba online, tapi ada juga yang masih mengandalkan kertas dan tanda tangan manual. Akibatnya, proses menjadi lambat dan membingungkan.
Sayangnya, evaluasi pelayanan masih sering hanya melihat jumlah dokumen yang diproses, bukan kualitas pengalaman masyarakat. Padahal pertanyaan yang paling penting adalah: “apakah masyarakat sudah dilayani dengan baik?”
Untuk menjawab pertanyaan ini, kita perlu melihat lebih dalam ke akar proses pelayanan itu sendiri. Yaitu Standar Operasional Prosedur atau SOP. Dokumen ini sejatinya menjadi panduan kerja resmi bagi setiap instansi dalam memberikan layanan publik. Tapi, bukannya membantu, banyak SOP justru malah menghambat, terlalu kaku, tidak sesuai kebutuhan masyarakat, dan tidak mengikuti perkembangan zaman.
Laporan dari Sekretariat Kabinet tahun 2020 menyebut bahwa 24 persen SOP administrasi pemerintahan sudah tidak bisa lagi dijadikan pedoman. Ini artinya, hampir seperempat prosedur yang digunakan saat ini justru memperlambat kerja, karena sudah tidak relevan lagi.
Jika birokrasi ingin berubah agar bisa cepat tanggap terhadap kebutuhan masyarakat, maka pembaruan SOP menjadi langkah awal yang penting. Pembaruan ini bukan hanya soal mengubah format, tapi bagaimana SOP bisa benar-benar membantu mempercepat dan mempermudah pelayanan.
Salah satu pendekatan yang bisa jadi solusi datang dari Alatan Asasta Indonesia. Mereka punya program pendampingan penyusunan SOP untuk instansi pemerintahan. Program ini tidak hanya memberikan teori dan aturan, tapi juga latihan langsung menyusun, menjalankan, dan mengevaluasi SOP agar lebih efisien, praktis, dan sesuai kebutuhan. Untuk informasi lebih lanjut mengenai program ini, termasuk alur penyusunan, contoh implementasi, hingga jadwal pelatihan terdekat, Anda dapat mengunjungi situs resmi alatanindonesia.id . Di sana tersedia banyak informasi yang dapat membantu Anda memulai langkah konkret dalam pembenahan pelayanan publik menjadi cepat tanggap dan efektif
Perubahan birokrasi memang tidak bisa instan, tapi bukan berarti tidak mungkin. Dimulai dari membenahi SOP, pelayanan publik bisa jadi lebih cepat, transparan, dan benar-benar dirasakan manfaatnya oleh masyarakat.