Nyaris Ditelan Laut, Tapi Aku Pulang dengan Napas yang Penuh

Bagikan Artikel

Oleh : Devilaria Damanik

Sabtu, 5 April, nyaris jadi tanggal kematianku. Hari itu, keluargaku yang jauh ribuan kilometer dari sini bisa saja mendengar kabar paling memilukan—aku hilang di laut. Tapi nyatanya, aku pulang. Dengan napas yang penuh, dan pelajaran hidup yang dalam.

Tinggal lebih dari setahun di pesisir Jara-jara, aku mulai terbiasa dengan bajubi—senapan rakitan untuk menembak ikan di laut. Belum ahli, tapi pernah juga aku berhasil menembak beberapa ekor. Siang maupun malam, aku pernah coba, tapi selalu bersama orang lain. Karena laut tak pernah bisa diprediksi, dan di air, teman adalah penyelamat.

Siang itu, ombak sedang kuat. Wisatawan di Air Biru cuma berani mengambil foto dari tepian. Tapi aku dan temanku, Ever, tetap turun. Ever adalah orang NTT. Dia bekerja di desa Lili. Kami berenang tak jauh-jauh, jaraknya cuma lima meter. Di bawah laut, aku temukan tiga kerang kecil yang indah. Kugenggam di tangan kanan, sementara tangan kiri menggenggam jubi.

Terlalu asik menyelam, aku tak sadar ombak menarikku jauh. Aku terpisah dari karang tempatku berpijak, juga dari Ever. Setiap kali aku coba berenang ke tepi, ombak justru menggulungku makin jauh. Nafasku mulai sesak, aku muncul ke permukaan dan berteriak, “Ver, aku lelah…” Tapi suaraku makin pelan, seperti ponsel lowbat di detik-detik terakhir.

Ever mencoba mendekat, mengulurkan jubi ke arahku. Berkali-kali ku coba raih, sampai akhirnya bisa. Tapi itu belum akhir. Kami berdua kini ikut terombang-ambing. Aku sempat tunjukkan kerang yang kupegang ke Ever. “Buang sudah,” katanya.

Aku melempar kerang itu ke udara. Rasanya seperti melemparkan beban hidup. Dia minta jubi yang kupegang, tapi aku menolak. “Aku butuh pegangan,” jawabku lirih.

Kami sudah berada di Air Biru—area dalam yang katanya dihuni hiu. Untungnya, aku dan hiu tidak saling melihat. Tapi lelah itu nyata. Di benakku muncul suara: “Kalau ini akhirnya, aku nggak mau mati jelek.” Aku ingat cerita Sekolah Minggu soal sosok yang menenangkan badai. Aku coba tenang. Air makin dalam, tubuh makin berat. Tapi aku tak menyerah.

Di puncak keputusasaan, aku dan Ever akhirnya menemukan pijakan karang. Nafasku kembali utuh. Kami menyelam bareng, bergerak ke arah tepi. Saat kakiku menyentuh karang dangkal dan aku sampai di pantai, aku berteriak. Suara batereiku kembali 100 persen.

Hari itu bukan akhirku. Tapi aku tahu, kalau pun saat itu aku “pulang,” aku akan pulang ke rumah yang sebenarnya tak pernah kutinggalkan—rumah batinku, rumah imanku. Tapi nyatanya aku masih di sini. Masih hidup. Dan lebih paham arti tenang, arti teman, dan arti berserah di tengah badai.

Dan satu hal penting: di laut, jangan pernah sendirian.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *