Tantangan Kesehatan Mental di Yogyakarta : Prevalensi Skizofrenia Tinggi

Bagikan Artikel

Bonarinews.com – Yogyakarta yang dikenal sebagai jantung pendidikan dan kebudayaan Indonesia, kini sedang bergelut dengan tantangan serius di ranah kesehatan mental.

Survei terbaru dari Kementerian Kesehatan (Kemenkes) 2023 mengungkapkan bahwa Yogyakarta memiliki prevalensi skizofrenia tertinggi di Indonesia.

Angka ini menunjukkan bahwa 9,3% rumah tangga di Yogyakarta memiliki anggota dengan gejala skizofrenia, jauh lebih tinggi dibandingkan angka nasional yang mencapai 4 permil.

Gejala dan Dampak Skizofrenia

Skizofrenia merupakan gangguan jiwa yang mengubah cara seseorang berpikir, merasakan, dan bertindak dalam kehidupan sehari-hari secara drastis.

Gejala utamanya meliputi halusinasi (mendengar suara yang tidak ada), waham (keyakinan yang salah), dan perilaku yang tidak wajar (ketidakmampuan untuk bergerak secara normal atau kecenderungan untuk bertindak agresif).

Gangguan ini dapat mengganggu fungsi sehari-hari, mempengaruhi hubungan sosial, pekerjaan, dan kualitas hidup secara keseluruhan.

Fakta Prevalensi Skizofrenia di Yogyakarta

Berdasarkan laporan survei dari Kemenkes, Yogyakarta mencatatkan angka tertinggi dalam hal prevalensi skizofrenia, mencapai angka 9,3% rumah tangga di wilayah tersebut melaporkan adanya anggota keluarga yang mengalami gangguan ini.

Angka ini menunjukkan bahwa Yogyakarta tidak hanya memiliki jumlah penderita skizofrenia yang tinggi, tetapi juga menunjukkan adanya kebutuhan mendesak untuk intervensi dan dukungan yang lebih baik.

Bahkan, dalam hal diagnosis resmi, Yogyakarta juga memimpin dengan prevalensi 7,8% untuk rumah tangga yang anggotanya telah didiagnosis skizofrenia oleh dokter.

Tantangan dalam Penanganan Skizofrenia

Salah satu rintangan utama bagi penderita skizofrenia adalah keterbatasan akses ke layanan kesehatan mental yang komprehensif dan memadai.

Kemenkes mencatat bahwa lebih dari dua pertiga penderita skizofrenia di seluruh dunia tidak mendapatkan perawatan spesialis yang memadai. Di Yogyakarta, stigma dan kurangnya pemahaman tentang kesehatan mental sering kali memperburuk situasi.

Pemasungan, yaitu praktik penahanan penderita dengan cara yang tidak manusiawi, masih terjadi pada sekitar 6,6% penderita skizofrenia di seluruh Indonesia.

Masyarakat dan Stigma: Mengatasi Kesalahpahaman

Stigma terhadap gangguan jiwa seperti skizofrenia sangat kuat di Indonesia, termasuk di Yogyakarta.

Penderita sering kali dianggap sebagai “gila” atau “ODGJ berat” yang dapat menghalangi mereka dari mendapatkan bantuan yang diperlukan. Kesalahpahaman ini tidak hanya mempengaruhi cara masyarakat memandang penderita, tetapi juga menghambat mereka dari mengakses perawatan yang tepat.

Oleh karena itu, meningkatkan kesadaran dan pemahaman masyarakat tentang skizofrenia sangat penting.

Langkah-Langkah ke Depan: Meningkatkan Kesadaran dan Akses

Untuk mengatasi tantangan ini, perlu adanya peningkatan kesadaran publik dan penyuluhan tentang kesehatan mental.

Pemerintah dan organisasi kesehatan harus bekerja sama untuk menyediakan pendidikan yang memadai tentang gangguan jiwa dan memastikan akses yang lebih baik ke layanan kesehatan.

Skrining yang lebih luas dan dukungan komunitas yang kuat dapat membantu mengurangi stigma dan meningkatkan kualitas hidup bagi penderita skizofrenia.

Kesimpulan

Yogyakarta, sebagai provinsi dengan prevalensi skizofrenia tertinggi di Indonesia, menghadapi tantangan besar dalam menangani masalah kesehatan mental ini.

Namun, dengan pemahaman yang lebih baik dan upaya kolektif dari masyarakat dan pemerintah, diharapkan kondisi ini dapat diperbaiki.

Masyarakat diharapkan lebih peka dan mendukung upaya-upaya yang dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan mental semua warga Yogyakarta.

Penulis: Priskila Theodora

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *