Indonesia Gelap: Demokrasi yang Meredup dan Tanggung Jawab Kita Bersama

Bagikan Artikel

Oleh: Harida Stepina br Purba

Istilah “Indonesia Gelap” belakangan kerap muncul sebagai ungkapan kegelisahan publik terhadap kondisi bangsa, terutama dalam hal demokrasi, penegakan hukum, dan arah kebijakan negara. Istilah ini bergema di berbagai ruang—dari media sosial, diskusi kampus, hingga aksi-aksi sipil—disuarakan oleh mahasiswa, aktivis, akademisi, dan masyarakat luas. Ia bukan sekadar luapan emosi sesaat, melainkan refleksi kolektif atas rasa kecewa dan cemas terhadap praktik demokrasi yang dirasakan semakin menjauh dari nilai keadilan, transparansi, dan partisipasi publik.

Demokrasi seolah direduksi menjadi prosedur elektoral lima tahunan. Di luar itu, ruang partisipasi masyarakat kerap menyempit. Banyak kebijakan strategis lahir tanpa pelibatan publik yang bermakna, sehingga aspirasi rakyat terasa diabaikan. Situasi ini memicu krisis kepercayaan terhadap institusi negara. Lembaga-lembaga yang semestinya menjadi penjaga kepentingan publik justru dipersepsikan lebih tunduk pada kepentingan kekuasaan dan elite tertentu.

Kesan “gelap” semakin menguat ketika penegakan hukum dipandang tidak berjalan adil. Hukum terlihat tegas terhadap rakyat kecil, namun cenderung lunak terhadap mereka yang memiliki kuasa dan modal. Kasus-kasus besar yang melibatkan pejabat atau elite sering berlarut-larut tanpa kejelasan, sementara pelanggaran kecil masyarakat biasa cepat diproses. Ketimpangan ini merusak kepercayaan publik terhadap prinsip negara hukum dan rasa keadilan.

Di saat yang sama, ruang kebebasan berekspresi juga dirasakan makin menyempit. Kritik kerap diposisikan sebagai ancaman, sementara perbedaan pendapat dicurigai. Padahal, dalam demokrasi yang sehat, kritik adalah mekanisme kontrol yang penting. Ketika suara kritis dibungkam melalui intimidasi, regulasi yang represif, atau stigma negatif, yang tumbuh bukan stabilitas, melainkan ketakutan dan apatisme. Tak mengherankan jika sebagian generasi muda merasa pesimis terhadap masa depan bangsa, bahkan memilih menjauh—baik secara emosional maupun partisipatif—dari urusan publik.

Namun, kegelisahan ini seharusnya tidak berhenti pada rasa putus asa. Tanggung jawab atas kondisi “Indonesia Gelap” tidak hanya berada di pundak pemerintah, tetapi juga menjadi tanggung jawab bersama seluruh elemen bangsa. Pemerintah dan institusi negara perlu kembali pada amanat konstitusi: membuka ruang partisipasi publik, memperkuat transparansi, serta menegakkan hukum secara adil tanpa pandang bulu. Demokrasi harus dihidupkan kembali sebagai sistem yang benar-benar berpihak pada rakyat, bukan sekadar alat legitimasi kekuasaan.

Di sisi lain, masyarakat sipil dan generasi muda dituntut untuk terus menjaga kesadaran kritis. Bersikap apatis justru akan memperdalam kegelapan itu sendiri. Suara publik perlu terus disuarakan secara damai, konstitusional, dan berkelanjutan untuk mengawal jalannya demokrasi.

Indonesia Gelap semestinya dimaknai bukan sebagai akhir dari harapan, melainkan sebagai peringatan keras. Demokrasi dan keadilan tidak pernah hadir dengan sendirinya. Keduanya harus diperjuangkan, dijaga, dan diwariskan. Jika hari ini cahaya terasa meredup, maka menjadi tugas kitalah bersama untuk menyalakannya kembali, agar Indonesia tetap bergerak menuju cita-cita bangsa yang adil, demokratis, dan bermartabat.

Penulis adalah mahasiswa Universitas Kristen Krida Wacana (UKRIDA) Jakarta, Program Studi Psikologi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *