Medan, Bonarinews.com — Dewan Pimpinan Daerah Persatuan Intelegensia Kristen Indonesia (DPD PIKI) Sumatera Utara memperingati Dies Natalis ke-62 yang dirangkai dengan Perayaan Natal 2025 di GBI T.O.D JW Marriott Medan, Jumat, 19 Desember 2025. Momentum ini dimanfaatkan PIKI untuk merefleksikan situasi kebangsaan, khususnya krisis ekologis yang kian menguat.
Ketua DPD PIKI Sumatera Utara, Naslindo Sirait, dalam orasi bertajuk Jalan Mewujudkan Keadilan Ekologis, mengatakan harapan publik terhadap pemerintahan baru pada 2025 kembali diuji oleh rentetan bencana hidroklimat di berbagai wilayah Indonesia. Banjir dan longsor, menurut dia, menjadi pengingat bahwa krisis lingkungan telah memasuki fase serius.
“Menjelang akhir tahun, energi bangsa kembali terkuras untuk merespons bencana—dari tanggap darurat hingga pemulihan,” kata Naslindo.
Ia memaparkan, hingga 18 Desember, bencana alam telah berdampak pada sekitar 1,7 juta jiwa. Sebanyak 338 orang meninggal, 138 lainnya dinyatakan hilang, puluhan ribu rumah rusak, dan kerugian ekonomi diperkirakan mencapai Rp16,89 triliun. Lebih dari 42 ribu orang masih bertahan di pengungsian.
PIKI menilai bencana tersebut tidak bisa semata dipandang sebagai peristiwa alam. Menurut Naslindo, perubahan fungsi hutan, alih guna lahan, reklamasi, serta eksploitasi sumber daya alam telah merusak keseimbangan ekologis. Praktik itu, katanya, mendorong pergeseran dari era Holocene ke Anthropocene—masa ketika aktivitas manusia menjadi faktor utama perubahan bumi.
“Alam tidak pernah berniat mencelakakan manusia. Ketimpangan muncul ketika manusia memosisikan diri sebagai pusat dan menjadikan alam sekadar objek,” ujarnya.
Dalam pandangan PIKI, pendekatan penanganan bencana yang reaktif tidak lagi memadai. Diperlukan pergeseran paradigma menuju pencegahan melalui penataan ruang yang berkeadilan ekologis, reformasi kebijakan sumber daya alam, penguatan instrumen hukum dan ekonomi, serta pendidikan lingkungan berkelanjutan.
PIKI juga menekankan pentingnya membangun ketangguhan masyarakat. Dengan lebih dari 83 persen wilayah Indonesia tergolong rawan bencana, peningkatan kapasitas masyarakat dinilai menjadi kunci menekan risiko.
Dalam refleksi dies natalis ini, PIKI menyerukan perjuangan keadilan ekologis, termasuk pengakuan hak-hak entitas non-manusia seperti hutan, sungai, dan danau. Naslindo mencontohkan sejumlah negara—Ekuador, Selandia Baru, dan Kolombia—yang telah memberikan status hukum kepada alam.
“Ke depan, kawasan seperti Danau Toba, hutan Toba, dan sungai-sungai di Sumatera Utara layak dipertimbangkan sebagai subjek hukum,” katanya.
Menurut PIKI, dunia kini berada dalam situasi darurat ekologis global yang ditandai krisis iklim, hilangnya keanekaragaman hayati, dan polusi. Dampaknya tidak hanya lingkungan, tetapi juga sosial dan ekonomi, terutama bagi kelompok rentan.
PIKI mengajak pemerintah, dunia usaha, masyarakat sipil, dan warga untuk melakukan apa yang mereka sebut sebagai pertobatan ekologis—sebuah komitmen bersama demi keberlanjutan dan keadilan lintas generasi.
“Orang bijaksana bukan hanya mampu menyelesaikan masalah, tetapi mencegahnya sebelum terjadi,” ujar Naslindo menutup refleksi. (Redaksi)