Oleh: Michelle Laurent, Nadine Levani Santoso, dan Dhea Nathania Kadarusman
Media sosial telah menjelma menjadi ruang konsultasi kesehatan yang serba cepat dan instan. Dalam hitungan menit, seseorang bisa menemukan daftar gejala depresi, gangguan kecemasan, hingga ADHD hanya dengan menggulir layar ponsel. Bagi remaja yang tumbuh bersama teknologi digital sejak usia dini, kemudahan ini kerap berubah menjadi jebakan: mendiagnosis diri sendiri tanpa proses yang memadai.
Fenomena self-diagnose semakin jamak di kalangan generasi Z. Rendahnya literasi digital dan literasi kesehatan mental membuat banyak remaja menerima informasi mentah-mentah, tanpa memilah sumber dan validitasnya. Konten kesehatan mental di media sosial—yang sering dikemas secara emosional dan personal—mudah terasa relevan, meski tidak selalu berbasis ilmiah. Di sinilah batas antara edukasi dan misinformasi menjadi kabur.
Sejumlah riset menunjukkan bahwa literasi kesehatan mental memiliki peran signifikan dalam menekan kecenderungan self-diagnose. Studi yang dipublikasikan pada 2023 mencatat bahwa literasi kesehatan mental berkontribusi jauh lebih besar dibandingkan pengaruh teman sebaya dalam mencegah individu mendiagnosis dirinya sendiri. Artinya, persoalan ini bukan semata soal lingkungan sosial, melainkan kemampuan berpikir kritis terhadap informasi.
Dampak self-diagnose tidak bisa dianggap ringan. Kesalahan menafsirkan gejala berpotensi meningkatkan kecemasan, menimbulkan stigma terhadap diri sendiri, hingga mendorong penanganan yang keliru. Alih-alih mencari bantuan profesional, sebagian remaja justru terjebak dalam label yang mereka sematkan sendiri, tanpa pemahaman utuh tentang kondisi psikologisnya.
Berangkat dari kegelisahan itu, sebuah kegiatan edukasi literasi digital dan kesehatan mental dilakukan di RPTRA Amanah Bunda, Jakarta Barat. Sasaran kegiatan adalah sekelompok kecil remaja yang selama ini aktif menggunakan media digital. Selama tiga hari, mereka diajak melalui proses sederhana namun terstruktur: mengenali kebiasaan mengonsumsi informasi, memahami risiko self-diagnose, dan belajar menyaring konten kesehatan mental secara kritis.
Hari pertama diisi dengan wawancara awal untuk memetakan pemahaman peserta. Hari berikutnya, materi disampaikan melalui diskusi dan studi kasus yang dekat dengan keseharian mereka. Pada hari terakhir, wawancara ulang dilakukan untuk melihat perubahan cara berpikir dan sikap peserta terhadap informasi digital.
Hasilnya menunjukkan perubahan yang menjanjikan. Para remaja mulai lebih berhati-hati dalam menerima informasi kesehatan mental. Mereka menyadari pentingnya memeriksa sumber ilmiah dan tidak serta-merta menyimpulkan kondisi diri hanya dari konten media sosial. Antusiasme peserta juga terlihat dari keinginan mereka menerapkan pembelajaran ini dalam kehidupan sehari-hari.
Kegiatan tersebut ditutup dengan pemberian perlengkapan alat tulis sebagai bentuk apresiasi. Bukan sekadar simbol, langkah ini dimaksudkan untuk menegaskan kembali pentingnya proses belajar yang terstruktur, baik di sekolah maupun di ruang digital. Kebiasaan belajar yang sehat diharapkan dapat membentuk sikap yang lebih kritis saat berhadapan dengan arus informasi daring.
Pengalaman di RPTRA Amanah Bunda memperlihatkan bahwa intervensi edukatif yang sederhana dapat memberikan dampak nyata. Literasi digital bukan sekadar kemampuan teknis menggunakan gawai, melainkan kecakapan menilai, memahami, dan mengambil keputusan dari informasi yang diterima.
Upaya ini tentu tidak bisa berhenti pada skala kecil. Pemerintah memiliki peran strategis untuk memperkuat literasi digital dan kesehatan mental dalam kurikulum pendidikan. Sekolah dan keluarga juga perlu dilibatkan agar remaja memiliki ruang aman untuk bertanya dan mencari bantuan yang tepat. Di sisi lain, masyarakat perlu membangun kesadaran bersama bahwa kesehatan mental bukan perkara diagnosis instan, melainkan proses yang memerlukan pendampingan profesional.
Di tengah derasnya arus informasi digital, literasi adalah penyangga utama. Tanpanya, remaja akan terus berhadapan dengan risiko salah paham terhadap diri sendiri. Dengan literasi yang memadai, media digital justru bisa menjadi ruang belajar, bukan sumber kecemasan baru.
Tim Penulis adalah Mahasiswa Universitas Kristen Krida Wacana (UKRIDA) Jakarta, Program Studi Psikologi