Oleh: Elizabeth Margaretha, Karunia Rosininta Hutabarat, Hilkia Marvellyandra
Masa sekolah menengah pertama kerap menjadi titik awal pergulatan identitas bagi seorang anak. Di usia ini, remaja mulai bertanya tentang dirinya sendiri: apa yang ia sukai, apa yang bisa ia lakukan, dan ke mana ia ingin melangkah.
Namun, tidak semua anak memiliki ruang dan kesempatan yang sama untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, terutama mereka yang tumbuh dalam keluarga dengan keterbatasan ekonomi. Kondisi inilah yang melatarbelakangi pelaksanaan kegiatan psikotes minat dan bakat bagi siswa SMP binaan Pusat Pengembangan Anak (PPA) di GPI Jatimurni dan GPI Jatimulya.
Kegiatan ini merupakan hasil kolaborasi antara Pusat Pengembangan Anak dan Pusat Layanan Psikologi Universitas Kristen Krida Wacana. Pelaksanaannya dilakukan langsung di dua lokasi PPA, yakni GPI Jatimurni dan GPI Jatimulya, yang menaungi anak-anak usia SMP dengan kebutuhan pendampingan psikologis. Di lapangan, kegiatan didukung oleh mahasiswa psikologi yang tengah menjalani program magang di PLP UKRIDA, dengan supervisi tenaga profesional.
PPA sendiri merupakan bagian dari kemitraan dengan Yayasan Compassion Indonesia, lembaga yang berafiliasi dengan organisasi Compassion berskala global. Melalui kemitraan ini, anak-anak dari keluarga berpenghasilan rendah di Indonesia mendapatkan dukungan sponsor dari berbagai negara.
Gereja lokal berperan sebagai mitra pelaksana, menyediakan sumber daya manusia dan fasilitas, sekaligus menjadi ruang aman bagi tumbuh kembang anak. Setiap anak binaan bahkan memiliki sponsor pribadi yang memantau perkembangan mereka secara berkala, termasuk melalui kunjungan langsung ke lingkungan tempat tinggal.
Berbeda dari kegiatan pembinaan anak yang bersifat seremonial, PPA dirancang sebagai pusat pengembangan anak yang menyentuh berbagai aspek kehidupan. Pendekatan yang digunakan bersifat holistik, mencakup dimensi spiritual, sosial-emosional, fisik, dan kognitif.
Pada aspek kognitif, misalnya, anak-anak didorong untuk mencapai standar akademik tertentu dan mendapatkan pendampingan tambahan jika mengalami kesulitan belajar. Bagi banyak anak dari keluarga dengan keterbatasan ekonomi dan minim dukungan pendidikan di rumah, pendampingan ini menjadi krusial.
Dalam kerangka inilah asesmen psikologis menjadi relevan. Kebutuhan akan psikotes tidak muncul secara kebetulan. Compassion secara berkala melakukan survei kebutuhan anak berdasarkan kluster wilayah.
PPA GPI Jatimurni dan GPI Jatimulya yang tergabung dalam Kluster BAJRA menunjukkan temuan bahwa anak usia 12–14 tahun rentan mengalami tekanan psikologis dan tantangan emosional.
Data tersebut mendorong pendekatan program yang lebih berfokus pada perlindungan anak dan kesehatan mental, yang membutuhkan dasar objektif berupa asesmen psikologis.
Pelaksanaan psikotes dilakukan dalam dua tahap. Kegiatan pertama berlangsung pada 18 Oktober 2025 di PPA GPI Jatimurni, disusul kegiatan kedua pada 15 November 2025 di PPA GPI Jatimulya. Anak-anak binaan jenjang SMP diundang untuk mengikuti asesmen sejak pagi hari.
Mereka dibagi ke dalam ruangan sesuai tingkat kelas dan dipersiapkan secara fisik maupun administratif sebelum tes dimulai. Tester dari PLP UKRIDA memberikan instruksi pengerjaan secara rinci, sementara observer memastikan proses berjalan sesuai standar. Hingga sore hari, seluruh rangkaian asesmen diikuti oleh total 81 siswa kelas 7 hingga 9.
Lebih dari sekadar pengumpulan data, asesmen ini diposisikan sebagai sarana edukasi psikologis. Setiap anak dipandang sebagai individu dengan profil unik, bukan angka atau label semata. Pendekatan ini sejalan dengan pandangan psikologi perkembangan yang menekankan pentingnya pemahaman diri pada masa remaja awal.
Melalui asesmen, anak dibantu mengenali potensi, gaya belajar, serta kebutuhan emosionalnya, sementara pendamping memperoleh pijakan yang lebih kuat dalam merancang program pembinaan.
Instrumen yang digunakan mencakup berbagai aspek, mulai dari kemampuan kognitif hingga kecenderungan minat dan kepribadian. Hasil asesmen kemudian dianalisis oleh psikolog profesional PLP UKRIDA dan dimanfaatkan sebagai dasar penyusunan program lanjutan di PPA.
Bagi anak, pengalaman ini menjadi langkah awal untuk mengenal diri secara lebih terstruktur. Bagi lembaga, data asesmen membuka peluang untuk merancang intervensi yang lebih relevan dan tepat sasaran.
Melalui kegiatan ini, psikologi hadir di tengah komunitas, bukan sebagai konsep abstrak, melainkan sebagai alat pemberdayaan. Anak-anak memperoleh ruang untuk memahami dirinya, PPA diperkuat dalam menjalankan fungsinya, dan kolaborasi antara gereja, lembaga sosial, serta perguruan tinggi menemukan makna nyatanya.
Psikotes minat dan bakat ini mungkin hanya satu langkah kecil, tetapi menjadi awal penting bagi anak-anak untuk melangkah dengan kesadaran diri yang lebih kuat, sekaligus menegaskan bahwa keterbatasan ekonomi tidak seharusnya membatasi arah masa depan.
Tim penulis merupakan mahasiswa Universitas Kristen Krida Wacana (UKRIDA) Jakarta, Program Studi Psikologi.