Oleh: Albert Zefania Wijaya, Fernando Valentino, Joey Clement Anderson Girsang
Stres akademik menjadi fenomena yang semakin sering dialami mahasiswa di Indonesia. Tekanan akademik yang tinggi, tuntutan prestasi, serta ekspektasi sosial kerap menempatkan mahasiswa dalam kondisi tertekan secara psikologis. Situasi ini tidak hanya memengaruhi capaian akademik, tetapi juga berdampak pada kesehatan mental dan kesejahteraan individu. Namun demikian, stres akademik masih sering dianggap sebagai konsekuensi wajar dunia perkuliahan yang harus dihadapi secara mandiri, tanpa dukungan sistematis dari lingkungan kampus.
Stres akademik muncul ketika tuntutan perkuliahan dirasakan melebihi kemampuan atau sumber daya yang dimiliki mahasiswa. Berdasarkan kegiatan psikoedukasi yang dilakukan pada mahasiswa Psikologi Universitas Kristen Krida Wacana, stres tidak selalu bersifat negatif.
Terdapat eustress yang justru dapat memotivasi individu, tetapi stres yang berlangsung berkepanjangan berpotensi berkembang menjadi distress yang merugikan kondisi fisik dan mental. Gejala yang kerap muncul antara lain gangguan tidur, kecemasan berlebihan, hingga perilaku prokrastinasi yang pada akhirnya memperburuk performa akademik.
Kurangnya pemahaman mahasiswa mengenai stres akademik menjadi salah satu faktor yang memperparah dampak tersebut. Hasil psikoedukasi menunjukkan bahwa sebelum sesi edukasi dilakukan, banyak mahasiswa belum mampu membedakan antara eustress dan distress.
Setelah mendapatkan pemahaman yang memadai, seluruh peserta menyatakan mampu mengenali perbedaan keduanya. Temuan ini mengindikasikan bahwa stres selama ini sering disalahartikan sebagai kegagalan pribadi, bukan sebagai respons psikologis yang dapat dikelola. Ketidaktahuan tersebut membuat mahasiswa cenderung menyalahkan diri sendiri dan enggan mencari bantuan.
Selain itu, stres akademik kerap dipicu oleh kombinasi faktor internal dan eksternal yang tidak selalu disadari secara reflektif. Faktor internal seperti perfeksionisme dan manajemen waktu yang kurang efektif, serta faktor eksternal seperti beban kurikulum dan ekspektasi orang tua, berkontribusi besar terhadap munculnya stres.
Tanpa pemahaman yang memadai, mahasiswa kesulitan mengidentifikasi sumber tekanan secara objektif. Akibatnya, strategi coping yang digunakan sering kali tidak tepat, seperti menghindari tugas atau menunda pekerjaan.
Psikoedukasi terbukti efektif sebagai langkah preventif dalam mengelola stres akademik. Melalui sesi psikoedukasi interaktif, mahasiswa tidak hanya memahami konsep stres, tetapi juga mampu memilih strategi coping yang realistis dan aplikatif. Mayoritas peserta menyatakan akan menerapkan teknik Pomodoro sebagai strategi utama, disusul oleh teknik relaksasi, mindfulness, dan self-compassion. Hal ini menunjukkan bahwa ketika mahasiswa dibekali pengetahuan dan keterampilan praktis, mereka menjadi lebih berdaya dalam mengelola stres secara mandiri.
Berdasarkan temuan tersebut, integrasi psikoedukasi kesehatan mental secara sistematis di lingkungan kampus menjadi kebutuhan mendesak. Psikoedukasi seharusnya tidak bersifat insidental, melainkan menjadi bagian dari program pengembangan mahasiswa.
Kampus perlu menyediakan sesi rutin mengenai manajemen stres, coping adaptif, serta akses layanan konseling yang mudah dijangkau dan bebas stigma. Peran dosen dan tenaga pendidik juga penting dalam menciptakan iklim akademik yang suportif, bukan semata-mata berorientasi pada hasil.
Pada akhirnya, stres akademik bukan sekadar persoalan individu, melainkan isu struktural dalam sistem pendidikan tinggi. Pengalaman psikoedukasi menunjukkan bahwa peningkatan literasi kesehatan mental mampu memperkuat kesadaran diri dan keterampilan coping mahasiswa.
Dengan mengakui stres sebagai realitas psikologis serta menyediakan ruang edukasi dan dukungan yang memadai, kampus dapat berperan aktif dalam membentuk mahasiswa yang sehat secara mental, produktif secara akademik, dan tangguh menghadapi tantangan masa depan.
Tim Penulis: Albert Zefania Wijaya, Fernando Valentino, Joey Clement Anderson Girsang, mahasiswa Universitas Kristen Krida Wacana (UKRIDA) Jakarta, Program Studi Psikologi.