Oleh: Agnes Agatha Mongdong
Dalam beberapa bulan terakhir, Pulau Sumatera kembali dilanda rangkaian bencana alam. Banjir, tanah longsor, dan kebakaran hutan terjadi di berbagai wilayah, membawa dampak serius bagi kehidupan masyarakat. Intensitas bencana yang relatif tinggi tidak hanya merusak lingkungan, tetapi juga mengganggu aktivitas sosial dan ekonomi warga. Situasi ini memunculkan pertanyaan penting tentang kesiapan daerah serta peran negara dalam merespons bencana secara menyeluruh.
Dampak bencana dirasakan langsung oleh masyarakat yang tinggal di wilayah terdampak. Banyak warga kehilangan tempat tinggal, sementara infrastruktur publik seperti jalan, jembatan, dan sekolah mengalami kerusakan. Aktivitas ekonomi, khususnya di sektor pertanian dan perdagangan, turut terganggu. Bagi sebagian warga, kondisi ini membuat pemenuhan kebutuhan dasar menjadi semakin sulit dan tidak pasti.
Bencana tidak hanya meninggalkan kerusakan fisik, tetapi juga memunculkan persoalan kesehatan dan psikososial. Di sejumlah daerah, akses layanan kesehatan menjadi terbatas akibat infrastruktur yang rusak. Kelompok rentan seperti anak-anak, lansia, dan ibu hamil menghadapi risiko yang lebih besar. Di sisi lain, trauma pascabencana kerap luput dari perhatian, padahal dampaknya dapat berlangsung dalam jangka panjang dan memengaruhi kualitas hidup masyarakat.
Hingga kini, penanganan bencana di Sumatera masih didominasi oleh upaya pemerintah daerah dengan dukungan terbatas dari pemerintah pusat. Relawan dan organisasi kemanusiaan turut berperan dalam penyaluran bantuan darurat. Namun, keterbatasan anggaran, logistik, dan sumber daya manusia menjadi tantangan utama. Akibatnya, proses pemulihan berjalan perlahan dan tidak merata di setiap wilayah terdampak.
Situasi ini semakin kompleks karena bencana-bencana tersebut belum ditetapkan sebagai bencana nasional. Padahal, penetapan status nasional memiliki implikasi penting, terutama dalam memperkuat koordinasi lintas lembaga dan memperluas akses bantuan. Tanpa status tersebut, pemerintah daerah harus mengandalkan kemampuan sendiri untuk menangani dampak bencana, meskipun beban yang dihadapi kerap melampaui kapasitas mereka. Kondisi ini memunculkan pertanyaan tentang sejauh mana kriteria penetapan bencana nasional benar-benar mempertimbangkan dampak kemanusiaan.
Bagi masyarakat terdampak, status administratif bukan sekadar persoalan formal. Yang mereka harapkan adalah kehadiran negara secara nyata. Bencana seharusnya tidak hanya diukur dari luas wilayah terdampak atau jumlah kerusakan fisik, tetapi juga dari lamanya penderitaan warga dan besarnya risiko sosial yang mereka hadapi. Ketika pemulihan berjalan lambat, penanganan yang cepat, terkoordinasi, dan berkelanjutan menjadi kebutuhan mendesak.
Dalam konteks kebencanaan, peran negara sangat menentukan keselamatan dan kesejahteraan warga. Penanganan yang optimal membutuhkan kebijakan yang responsif, fleksibel, dan didukung sumber daya yang memadai. Oleh karena itu, evaluasi terhadap mekanisme penetapan status bencana nasional perlu dilakukan secara berkala. Evaluasi ini penting agar kebijakan yang diambil tidak tertinggal dari realitas di lapangan.
Bencana di Sumatera menjadi pengingat bahwa risiko kebencanaan masih menjadi tantangan serius bagi Indonesia. Upaya mitigasi, kesiapsiagaan, dan penanganan pascabencana harus terus diperkuat di semua tingkatan pemerintahan. Sinergi antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan masyarakat menjadi kunci dalam menghadapi situasi darurat. Dengan kehadiran negara yang lebih responsif dan berpihak pada kemanusiaan, dampak bencana dapat ditekan dan pemulihan kehidupan warga dapat berlangsung lebih cepat dan berkeadilan.
Penulis adalah mahasiswi Universitas Kristen Krida Wacana (UKRIDA).