Bencana: Berawal dari Sawit

Bagikan Artikel

Oleh: Michelle Laurent

Akhir November hingga awal Desember 2025 menjadi momen kelam bagi Pulau Sumatera. Hujan ekstrem yang dipicu oleh sistem badai tropis memicu banjir besar dan tanah longsor di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat. Menurut BNPB, jutaan orang terdampak, ratusan meninggal, dan ribuan rumah rusak akibat bencana ini. Namun, hujan deras saja tidak cukup menjelaskan skala kerusakan yang begitu masif.

Para ahli hidrologi menyoroti faktor ekologi yang lebih mendasar. Deforestasi dan degradasi hutan di hulu sungai telah mengurangi kemampuan ekosistem menyerap air, sehingga aliran yang tidak terserap meningkat drastis, memicu banjir bandang yang merembet ke daerah perkotaan. Fenomena ini menunjukkan bahwa bencana tidak hanya berasal dari alam, tetapi juga dari rusaknya sistem lingkungan yang seharusnya melindungi manusia.

Perluasan perkebunan sawit menjadi salah satu pemicu utama. Hutan tropis yang rapat memiliki sistem akar dan tutupan daun yang menahan tanah, memperlambat aliran air, serta meningkatkan infiltrasi ke tanah. Ketika hutan diganti dengan sawit, yang memiliki perakaran dangkal dan struktur vegetasi lebih terbuka, kemampuan tanah menahan air berkurang drastis. Air hujan pun langsung mengalir ke sungai, membawa sedimen, mempercepat kenaikan debit, dan memicu longsor serta banjir di wilayah hilir.

Dampak konversi lahan tidak hanya terbatas pada vegetasi. Pengeringan lahan gambut untuk kanal dan perkebunan menghilangkan kemampuan “spons” alami, menjadikan wilayah hulu lebih rentan terhadap curah hujan tinggi. Penebangan dan alih fungsi DAS juga mempercepat sedimentasi, membuat sungai cepat meluap saat hujan ekstrem. Kota-kota seperti Padang dan Sibolga menjadi korban nyata dari pola pengelolaan lahan yang tidak mempertimbangkan ekologi hulu.

Ironisnya, meski dampak bencana sangat besar, pemerintah belum menetapkan status banjir ini sebagai “bencana nasional.” Setiap provinsi menangani bencana hanya sebagai darurat daerah. Keputusan ini memicu perdebatan karena akar masalahnya bukan sekadar cuaca ekstrem, tetapi juga kebijakan lingkungan yang longgar terhadap izin lahan dan mitigasi kerusakan hutan, termasuk perluasan sawit.

Indonesia perlu mengubah paradigma pengelolaan lahan. Fungsi ekologis hutan harus menjadi bagian tak terpisahkan dari pembangunan ekonomi. Sawit sebagai komoditas strategis seharusnya dikelola dengan prinsip berkelanjutan, tanpa mengorbankan hutan yang menyerap air dan melindungi DAS. Praktik agroforestri, restorasi lahan gambut, dan rehabilitasi DAS wajib menjadi prioritas. Masyarakat juga perlu meningkatkan kesadaran lingkungan, memahami bahwa keuntungan ekonomi dari sawit harus seimbang dengan perlindungan ekosistem, terutama di tengah ancaman bencana yang meningkat akibat perubahan iklim.

Krisis banjir dan longsor di Sumatera 2025 bukanlah bencana alam biasa. Fenomena ini merupakan akumulasi dari hilangnya daya serap air akibat deforestasi dan alih fungsi lahan. Jika pola pengelolaan lahan tidak segera diperbaiki, bencana serupa akan terus mengancam kota dan desa lain di Indonesia, menuntut pendekatan pembangunan yang lebih ramah lingkungan dan berkelanjutan.

Penulis adalah Mahasiswa Ukrida Jakarta, Prodi Psikologi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *