Keadilan yang Diperjuangkan: Dari Nilai Pancasila ke Kehidupan Sehari-hari

Bagikan Artikel

Oleh Adelia Isni Riyani

Keadilan adalah nilai dasar yang seharusnya menjadi arah hidup bersama dalam berbangsa. Kita bahkan menempatkannya dalam sila kelima Pancasila: Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Namun kenyataannya, nilai itu tidak selalu mudah ditemukan di sekitar kita. Di kampus, di lingkungan tempat tinggal, atau bahkan dalam layanan publik, sering terasa bahwa keadilan masih menjadi janji, bukan kenyataan.

Ketimpangan akses menjadi salah satu contoh paling jelas. Ada bantuan sosial yang tidak tepat sasaran, layanan publik yang berjalan lambat untuk sebagian orang tetapi cepat untuk yang memiliki koneksi, atau kesempatan akademik yang tidak sama bagi semua mahasiswa.

Situasi ini semakin terasa sejak pandemi, ketika tekanan ekonomi membuat banyak orang terpuruk. Mahasiswa harus bekerja sampingan untuk membayar kuliah, sementara yang lain memiliki kemudahan untuk mengakses bimbingan belajar, fasilitas tambahan, atau dukungan keluarga. Di titik ini, kita melihat, keadilan belum benar-benar hadir dalam kehidupan pendidikan.

Di lingkungan masyarakat, masalahnya sering terlihat pada distribusi bantuan. Ada warga yang benar-benar membutuhkan tetapi tidak masuk data penerima, sementara mereka yang relatif mampu justru mendapatkan bantuan. Kesalahan administrasi atau faktor kedekatan sering membuat proses pendataan tidak akurat. Ketika sistem seperti ini dibiarkan, masyarakat kehilangan rasa percaya—bukan hanya pada pemerintah, tetapi juga pada nilai keadilan itu sendiri.

Keadilan juga menyangkut cara kita memperlakukan orang lain. Tidak jarang seseorang mendapat perlakuan berbeda hanya karena penampilan atau status sosial. Di beberapa layanan publik, orang yang terlihat “berpendidikan” lebih dihargai, sementara warga biasa harus menunggu lebih lama. Padahal keadilan seharusnya melihat kebutuhan, bukan penampilan.

Untuk mewujudkan keadilan yang lebih nyata, semua pihak harus terlibat. Pemerintah perlu memperbaiki sistem pendataan dan distribusi bantuan agar lebih transparan dan akurat. Kampus dan institusi pendidikan harus membuat akses belajar lebih inklusif—mulai dari beasiswa, pendampingan psikologis, hingga fasilitas untuk mahasiswa difabel. Sementara itu, masyarakat perlu membangun kebiasaan memperlakukan orang lain dengan setara, tanpa diskriminasi.

Melihat semua persoalan itu, saya sampai pada satu kesimpulan: keadilan tidak akan lahir hanya dari aturan atau pidato. Ia hadir dari tindakan sehari-hari, dari pilihan sederhana yang kita buat—bersikap jujur, menghargai sesama, dan menjunjung integritas. Jika setiap orang melakukan langkah kecil itu secara konsisten, keadilan sosial yang kita cita-citakan bukan lagi sekadar prinsip dalam Pancasila, tetapi sesuatu yang benar-benar kita rasakan dalam kehidupan nyata.

Penulis adalah Mahasiswa Ukrida Jakarta, Prodi Psikologi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *