Membangun Koneksi Gen-Z dengan Koperasi: Mengapa Pendidikan Perkoperasian Harus Dirombak

Bagikan Artikel

Oleh: Haidhar Arvin Hidayatullah

Gen-Z lahir dan tumbuh sebagai generasi digital native. Mereka terbiasa dengan internet, teknologi cepat, dan ruang interaksi yang serba instan. Namun di balik kecakapan digital itu, ada ironi besar: sebagian besar dari mereka tidak mengenal koperasi. Bahkan lebih jauh, koperasi sering dipandang sebagai sesuatu yang tua, kuno, dan tidak relevan dengan pola ekonomi masa kini. Banyak anak muda hanya mengenalnya sebagai tempat meminjam uang atau toko kecil yang dikelola seadanya, bukan sebagai wadah usaha bersama yang memberi ruang bagi kemandirian dan kekuatan ekonomi kolektif.

Pandangan keliru itu lahir bukan karena Gen-Z tidak peduli, tetapi karena mereka tidak pernah mendapatkan pendidikan perkoperasian yang layak. Kurikulum sekolah maupun perguruan tinggi menempatkan model bisnis individu dan kompetisi pasar sebagai pusat pembelajaran ekonomi. Koperasi tidak pernah dipresentasikan sebagai sistem ekonomi modern yang menawarkan kepemilikan bersama, demokrasi ekonomi, dan distribusi hasil yang adil. Akibatnya, koperasi kehilangan relevansinya di mata generasi muda.

Di titik ini, peran Pemandu Lapenkop Muda menjadi sangat strategis. Mereka bukan hanya penyampai teori, tetapi fasilitator pengalaman. Pelatihan dirancang dengan pendekatan partisipatif yang dekat dengan karakter Gen-Z: interaktif, berbasis permainan, dan memberi ruang bagi kreativitas. Gen-Z tidak cocok dengan pola belajar satu arah. Mereka ingin terlibat, bereksperimen, dan merasakan langsung proses pembelajaran. Ketika koperasi dikenalkan melalui aktivitas yang menyenangkan dan tidak kaku, mereka dapat menangkap esensinya bukan sebagai konsep masa lalu, melainkan sebagai ruang kolaborasi yang relevan dengan masa depan.

Bahasa juga memegang peran penting. Gen-Z hidup dalam ekosistem komunikasi yang cair, cepat, dan terasa personal. Gaya penyampaian yang terlalu formal justru membuat pelatihan terasa jauh dan tidak menarik. Karena itu, Pemandu Lapenkop Muda perlu menyesuaikan diri: menggunakan bahasa sederhana, istilah kekinian, dan narasi yang dekat dengan kehidupan sehari-hari peserta. Penyesuaian bahasa bukan sekadar gaya mengajar, tetapi strategi agar materi koperasi benar-benar masuk dan dapat dipahami tanpa sekat psikologis.

Pada akhirnya, pendidikan perkoperasian bagi generasi muda harus dirancang dengan pendekatan yang relevan dengan pola pikir dan karakter mereka. Tantangannya bukan hanya minimnya pengetahuan, tetapi juga jarak persepsi yang membuat koperasi tampak usang. Tanpa literasi koperasi dalam sistem pendidikan formal, kesenjangan itu akan terus melebar.

Gen-Z memiliki akses informasi tanpa batas, tetapi mereka tetap membutuhkan pendampingan untuk memahami mana yang substansial. Mereka membutuhkan pengalaman, bukan hanya materi. Mereka membutuhkan interaksi, bukan ceramah satu arah. Melalui metode pelatihan yang menggabungkan teori, praktik, permainan edukatif, dan komunikasi non-formal, pendidikan perkoperasian dapat menjadi sarana untuk membongkar stigma dan membangun kesadaran baru tentang koperasi.

Jika pendekatan ini dijalankan secara konsisten, maka generasi muda bukan hanya mengenal koperasi, tetapi memiliki keterikatan dan rasa memiliki terhadap gerakan koperasi. Inilah fondasi penting untuk membentuk kader-kader koperasi masa depan yang mampu menjaga keberlanjutan dan relevansi gerakan koperasi di era digital. (*)

Penulia adalah Pengurus Badan Komunikasi Pemuda Koperasi DEKOPINDA Kota Malang
Pemandu Muda Lapenkopda Kota Malang

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *