Sekolah Rumah Kedua bagi Anak, Tetapi Kenapa Justru Menjadi Tempat Mereka Terluka?

Bagikan Artikel

Oleh: Christophorus

Belakangan ini, Indonesia kembali diguncang oleh maraknya kasus perundungan di sekolah. Data KPAI per 19 November 2025 mencatat, dalam dua bulan terakhir saja sudah terjadi enam kasus bullying yang berujung pada hilangnya nyawa siswa. Angka ini menunjukkan betapa rapuhnya perlindungan anak di lingkungan pendidikan. KPAI menegaskan, banyak sekolah belum memiliki sistem perlindungan yang efektif, mekanisme pelaporan yang ramah anak, serta budaya yang benar-benar menolak praktik perundungan.

Perundungan kini tidak hanya terjadi di kota-kota besar, tetapi menyebar ke berbagai daerah. Bentuknya pun semakin beragam, mulai dari kekerasan fisik, verbal, hingga cyberbullying. Banyak kasus direkam dan menyebar di media sosial, menciptakan efek traumatis yang lebih dalam bagi korban. Pada sejumlah insiden, perundungan bahkan dilakukan berkelompok terhadap satu individu, memperlihatkan betapa kuatnya tekanan sosial di sekolah dan betapa lemahnya literasi empati serta kemampuan mengelola emosi di kalangan pelajar.

Peningkatan kasus dari tahun ke tahun memperlihatkan, banyak sekolah masih gagal menciptakan ruang belajar yang aman dan inklusif. Sebagian guru dan pihak sekolah memandang bullying sebagai “kenakalan biasa” atau bagian dari proses pendewasaan, sehingga penanganan sering kali lambat dan tidak serius. Padahal, sikap permisif seperti ini justru melanggengkan budaya kekerasan. Tanpa SOP yang jelas, korban lebih memilih diam karena takut tidak dipercaya atau khawatir akan mendapatkan perlakuan lebih buruk. Minimnya pengawasan guru di kelas, lorong sekolah, kantin, dan area publik lainnya menambah celah terjadinya perundungan.

Di era digital, cyberbullying menjadi ancaman baru yang jauh lebih mematikan secara psikologis. Berbeda dengan perundungan fisik, serangan di dunia maya bisa berlangsung tanpa henti, viral dalam hitungan detik, dan disaksikan banyak orang. Komentar negatif, penghinaan, hingga penyebaran video kekerasan membuat korban mengalami tekanan berlipat. Banyak anak melaporkan kecemasan, takut ke sekolah, hingga menarik diri dari lingkungan sosial. Fenomena ini menunjukkan lemahnya regulasi penggunaan media sosial bagi anak dan rendahnya pengawasan orang dewasa terhadap aktivitas digital mereka.

Tidak berhenti di situ, perundungan berdampak langsung pada kesehatan mental pelajar. Korban bullying memiliki risiko lebih tinggi mengalami depresi, kecemasan, trauma, bahkan keinginan menyakiti diri sendiri. Lingkungan sekolah yang tidak aman menghambat perkembangan psikologis sekaligus kemampuan akademik mereka. Kondisi ini seharusnya menjadi alarm keras bagi pemerintah, sekolah, dan masyarakat bahwa perlindungan anak bukan lagi sekadar kebutuhan, tetapi sudah menjadi keadaan darurat.

Untuk mengatasi masalah ini, pemerintah perlu mempercepat penerapan kebijakan pencegahan kekerasan di sekolah, tidak hanya di pusat kota tetapi hingga ke daerah. Guru harus mendapatkan pelatihan khusus dalam mendeteksi perundungan sejak dini, menangani kasus secara tepat, serta memberikan pendampingan psikologis kepada korban. Sekolah wajib menyediakan mekanisme pelaporan yang aman dan rahasia bagi siswa. Kurikulum perlu memasukkan pendidikan empati dan literasi emosi, sementara layanan konseling harus diperkuat dengan tenaga profesional seperti psikolog atau konselor tetap. Orang tua pun harus menjadi mitra aktif sekolah dalam mengawasi perilaku anak, baik di dunia nyata maupun di media digital.

Kesimpulannya, meningkatnya kasus perundungan menegaskan bahwa Indonesia sedang berada dalam krisis perlindungan anak dan kesehatan mental remaja. Bullying bukan sekadar masalah kedisiplinan, tetapi masalah kemanusiaan yang merampas hak anak untuk belajar dengan aman. Jika sekolah, pemerintah, dan masyarakat tidak bergerak cepat, kita berisiko kehilangan satu generasi yang tumbuh dengan luka psikologis mendalam. Oleh karena itu, membangun budaya sekolah yang aman, empatik, dan menghargai keberagaman harus menjadi prioritas bersama demi masa depan Indonesia.

Penulis adalah Mahasiswa Program Studi Psikologi, Universitas Kristen Krida Wacana (UKRIDA) Jakarta, Angkatan 2023

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *