Ayah yang Minta Maaf untuk Tiga Bungkus Mi, Sementara Para Perusak Hutan Tak Pernah Menunduk

Bagikan Artikel

Bonarinews.com — Ada saat-saat ketika manusia dipaksa memilih antara harga diri dan keberlangsungan hidup. Dan pada hari itu, seorang ayah, dengan tangan bergetar dan suara yang hampir pecah, berdiri di depan kamera ponselnya untuk menjelaskan sesuatu yang sebenarnya tidak perlu ia jelaskan kepada siapa pun—namun ia merasa harus.

Wajahnya letih. Bukan letih karena pekerjaan, tetapi letih karena berjuang melawan keadaan yang tidak memberinya pilihan. Di genggamannya, tiga bungkus mie instan tampak seperti tiga benda kecil yang tiba-tiba berubah menjadi beban moral yang besar. Ia juga membawa sebotol air mineral dan sedikit snack—semuanya untuk anak-anaknya. Namun di tengah kekacauan bencana, tiga benda sederhana itu memaksanya meminta maaf kepada dunia.

“Saya tidak ada niat berbuat begitu… saya cuma terpaksa. Tidak ada makanan lagi di rumah. Tidak ada uang. Tidak ada bantuan sama sekali,” ucapnya lirih.

Suaranya pecah, seperti seseorang yang sudah terlalu lama menahan diri untuk tetap kuat, namun akhirnya kalah oleh kenyataan.

Saat sebagian orang menjarah minimarket tanpa berpikir, ayah ini justru merasa bersalah hanya karena mengambil secukupnya untuk memastikan anak-anaknya tidak kelaparan. Bukan besar barangnya yang memukul perasaan—melainkan besarnya beban yang ia pikul sendirian.

Dan ironisnya, ayah ini meminta maaf untuk kesalahan yang bukan sepenuhnya miliknya.

Karena sesungguhnya, bencana yang menggulung Tapanuli bukan sekadar karena cuaca ekstrem. Bukan semata hujan deras.
Akar masalahnya jauh lebih dalam—dan lebih menyakitkan untuk diakui.

Bencana itu adalah buah dari keserakahan manusia.
Dari tangan-tangan yang menjarah hutan, merampas pepohonan, menoreh perut bumi tanpa ampun, lalu menutup mata dari dampak ekologis yang mereka ciptakan.
Mereka memperkaya diri dengan merusak alam, tanpa rasa bersalah. Tanpa8 pernah mau meminta maaf. Tanpa pernah merasa bertanggung jawab.

Dan pada akhirnya, mereka yang memaksa ayah ini mencuri tiga bungkus mie instan dari minimarket.

Ayah ini bukan pencuri.
Ia adalah korban.
Korban dari pemimpin-pemimpin yang membiarkan hutan habis, tanah longsor, sungai meluap, dan kampung-kampung terkubur lumpur.

Ia korban dari pejabat-pejabat korup yang merusak hutan kita, lalu berlindung di balik jabatan dan proyek rehabilitasi yang tak pernah selesai.
Korban dari penguasa modal yang memandang bumi hanya sebagai angka keuntungan.
Korban dari sistem yang membiarkan Tapanuli telanjang tanpa pelindung alami.

Ayah ini berdiri, menunduk, meminta maaf untuk sesuatu yang ia lakukan demi hidup.
Sementara mereka yang seharusnya meminta maaf justru hidup nyaman, tak tersentuh.

“Kalau saya sudah punya rezeki… saya pasti kembali ke toko itu untuk bayar semuanya,” katanya dengan suara yang nyaris patah.

Dalam ketakberdayaannya, ia masih menjaga nurani.
Dalam kelaparan, ia masih memelihara kejujuran.
Dalam kehilangan, ia masih berusaha menjadi manusia seutuhnya.

Dan mungkin, justru di sanalah letak kemanusiaan yang sesungguhnya—

Ketika seorang ayah miskin yang terjepit keadaan masih tahu malu, sementara mereka yang merusak bumi tanpa henti tak pernah merasa bersalah.

Ayah ini mengajarkan bahwa nilai kemanusiaan bukan tentang berapa banyak harta yang dimiliki, tetapi tentang bagaimana seseorang tetap menjaga hati, bahkan di tengah dunia yang semakin kehilangan moralnya. (Redaksi)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *